Senin, 24 Januari 2011

The Sister-Drama


Sisters

Wendy, Windi, dan Winda adalah 3 bersaudara. Wendy telah memasuki masa kuliah dan lebih dewasa dibanding kedua adiknya. Windi dan Winda, kedua adiknya, lebih sering bertengkar karena hal-hal sepele. Tetapi, mereka tetap saling menyayangi sebagai kakak dan adik.

Suatu malam, Windi dan Winda, beserta satu orang teman Windi, Fiana, baru saja pulang dari berbelanja di sebuah mall besar di tengah kota. Winda tengah menghitung uang sisa dari belanja tadi, dan terlihat panik ketika mengetahui uangnya kurang.

Winda: “Loh? Kok duit gue kurang?”
Windi: “Kenapa, Nda?”
Winda: “Duit gue kurang, kak!”
Fiana: “Kan kita abis shopping, Udah kepake, kali?”
Winda: “Tapi gak mungkin banget, kurang! Udah gue itungin! Tu duit buat beli buku, nih!?”
Windi: “Itung lagi, Nda!”
Winda: “Jangan- jangan, kepake ama lo, ya kak?!”
Windi: “Hah? Maksud lo?!
Winda: “Tadi kan, pas shopping, duit lo kurang!”
Windi: “Ngawur, lo dek! Nuduh gue? Enak aja!”
Winda: “Siapa lagi kalo bukan, lo?”
Windi: “Sembarangan lo, dek!! Ada juga elo tuh, yang pikun!”
Winda: “Kok jadi ngatain gue pikun, sih! Enak banget ngatain gue kaya gitu! Gak terima gue! Elo yang salah, emang elo kan, yang ngambil duit gue?!”
Windi: “Eh, Winda! nyolot banget, sih, lo? udah dibilangin bukan gue!”
Fiana: “Eh, kok jadi pada berantem gini, sih? Udah-udah!”
Winda: “Gimana gak marah, kalo duit kita, diambil ama orang yang nggak mau tanggung jawab?!”
Windi: “Winda! Udah deh, diem! Gue lagi nyetir, nih!”
Winda: “Aaaahh!! Udah, Stop disini! GUE MAU TURUN!!”
Windi: “Oke, fine! Turun sono!”
Winda: “Dasar, maling, lo!”
Windi: “Nyolot!”
Fiana: “Eh, Winda? kok turun? Windi? Ini udah malem ,lho, Ndi! kalo Winda kenapa- napa, gimana?”
Windi: “Biarin aja, lah! Gak peduli! Gue gak ada urusan ama anak kayak dia!”
Fiana: “Oh, oke. Terserah lo, deh. Tapi gue gak ikutan, ya.”
            Mobil Windi melaju dengan kencang dari tempat itu. Meninggalkan Winda yang termagu sendiri, mondar-mandir menunggu taksi. Beberapa saat kemudian, barulah Winda sadar, betapa mengerikannya malam itu. Malam yang hening. Winda menyusuri jalan dengan perasaan yang waswas. Dalam hati ia mengumpat sendiri karena bertengkar dengan Windi dan ngotot turun untuk mencari taksi.

Winda: “Argh! Sialan! Kemana sih, taksi-taksi? Kok, nggak ada?Mana udah malem banget, lagi!” (Sambil menatap jam dan berjalan.)

            Winda tidak menyadari, ada yang tengah mengintainya dari kegelapan. Mereka adalah Eko dan Udin, preman-preman yang baru saja selesai pesta mabuk-mabukan.

Udin: “Aduh, ko! enak nbanget, yah? malem-malem ngegele, kaya begini!”
Eko: “Hahahaha... Iya iya....”
Udin: “Weh, ko! Ada cewe cakep, tuh!”
Eko: “Hah? Mana, mana?”
Udin: “Rabun sih, lu! Itu, tuh!”
Eko: “Eh, iya, ya!”
Udin: “Kayaknya orang kaya, nih.”
Eko: “Rampok, yuk?!”
Udin: “Yuk!!”

            Udin dan Eko pun menghampiri Winda dengan mimik muka mengerikan.

Udin: “Neng geulis... Mau kemana, neng?”
Eko: “Liat tasnya dong...”
Winda: “Apa-apaan? Siapa kalian? Mau ngapain, ini?”
Udin: “Main bentar, aja, kok neng...”
Winda: “Eh? Kalian? Rampok!! Tolong!!” (Berlari)
Udin: “Jangan lari, kamu!”
Eko: “Sikat, Din!”

            Udin dan Eko pun membunuh Winda tanpa perasaan, hnya untuk mengambil harta yang ada di tas Winda.

Udin: “Hahaha! Banyak nih, duitnya!”
Eko: “Loh, Din, cewenya mati, lo, Din?”
Udin: “Waduh, iya, malah mati.”
Udin & Eko: “Kabur!!!”

Udin dan Eko pun pergi meninggalkan mayat Winda tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Sementara itu, Windi telah pulang kerumahnya. Wendy yang sedang membaca di ruang tamu, terkejut akan pulangnya Windi tanpa munculnya Winda disampingnya.

Windi: “Assalamu’alaikum!”
Wendy: “Wa’alaikum salam!”
Windi: (menaruh barang bawaan di samping kursi Wendy, mengambil gelas di meja.)
Wendy: “Loh, Windi! Winda kemana?”
Windi: “Tau tuh, kak! Anak aneh, dasar. Minta turun di jalan. Abis itu, ngilang, deh! Main kali, kerumah temennya!”
Wendy: “Jangan main-main, loh, Ndi! ini udah malem!”
Windi: “Gak tau, kak!” (Minum.)
Wendy: “Kamu ini! Ade sendiri bukannya dijagain!”

            Terlihat bayangan disamping Wendy. Wendy tidak menyadarinya. Windi mengambil minum di meja.

Windi: (Minum.)
Wendy: “Ndi, gak biasanya Winda gak nelpon dulu kalo kemana-mana.”
Windi: (Berbalik.) “Gak tau, ka...” (Terpotong.) “Kak, itu.... itu....”
Wendy: “Kenapa, Ndi?”
Windi: “Itu... Itu...” (Pingsan.)
Wendy: “Ya, Allah! Windi! Windi? Mang Mi’un!!! Mang Mi’un!!! Sini cepetan!! GPL!!” (menghampiri Windi, dan mneggoyang-goyangkan Windi)
           
Mang Mi’un adalah sopir, tukang kebun, koki, sekaligus pelayan setia di keluarga Wendy, Windi, dan Winda. Datanglah Mang Mi’un.

Mang Mi’un: “Ada apa, non? Astagfirullah! Non Windi! Non Windi kenapa, non?”
Wendy: “Gak tau, nih! Bantuin saya, atuh!”
Mang Mi’un: “Oh, iya-iya! Ayo atuh!”

            Setelah Itu dikamar Windi, Windi pun akhirnya siuman.

Windi: “Kak Wendy...”
Wendy: “Iya, kenapa Windi?”
Windi: “Aku kok ada disini?”
Wendy: “Ini kamar kamu, Windi. Kamu tadi pingsan. Kamu kenapa, sih?”
Windi: “Kak, kok, aku tadi, kaya ngeliat Winda, ya? Tapi.. tadi, dia serem banget...”
Wendy: “Halusinasi kamu aja, kali. Udah, kamu tidur, ya.”
            Esoknya, Winda belum pulang juga. Ketika malam, Windi dan Fiana baru saja pulang dari sebuah salon. Saat perjalanan pulang, Windi dan Fiana mengobrol bareng. Windi menyetir.

Fiana: “Hahaha... Seru banget ya, tadi. Ngomong-ngomong, Ade lu dah pulang?”
Winda: “Hahahaha, iya. Hah? Winda? Tau, ah! Ke laut, kali!”
Fiana: “Eh, jangan gitu, loh! ntar beneran, lagi!”

            Mobil Windi melaju dengan kencangnya. Saat sedang asyiknya menyetir, tiba-tiba Windi mendengar sesuatu.

Winda: “Windi... Windi...”
Windi: “Hah? Lo manggil gue, Na?”
Fiana: “Hah? Apa-apaan?”
Windi: “Trus, tadi gue denger apa, dong?”
Fiana: “Jangan nakut-nakutin gue gitu, dong, Ndi!”
Winda: “Windi... Windi... Gue disini...”
Windi: “Lo denger, gak sih?”
Fiana: “Gue gak denger apapun, Ndi.”

             Karena penasaran, Windi melihat ke jok belakang melalui kaca spion dalam. Ia terkejut. Serta merta ia menarik rem secara tiba-tiba.

Windi: “Astagfirullah! Winda?!”
Fiana: “Aduh! Lo apa-apaan, sih?!”
Windi: “Lo gak liayt? tadi itu, Winda...?!”
Fiana: “Udah, udah! Kita cabut aja, cepetan! Emang gak aman, ya? satu mobil ama lo!”

            Windi Langsung tancap gas. Malamnya ia masuk kemaar dengan perasaan was-was dan tidak tenang. Ia masih tegang karena kejadian yang baru saja menimpanya.

Windi: “Sebenernya, gue kenapa, sih? Winda... Lo dimana, sih?! kenapa lo gak pulang-pulang?” (menaruh barang-barang, dan mengaca.)
Winda: “Windi...”
Windi: “Win.. Winda?”(Berbalik.)
Winda: “Windi...”
Windi: “Elo udah pulang? Kok, lo di kamar gue, sih?”
Winda: “Gue gak bisa pulang, Ndi...”
Windi: “Maksud lo?”
Winda: “Bantuin gue, Ndi...”
Windi: “Gue gak ngerti...” (Barang jatuh, Windi menoleh,) “Astagfirullah!” (kembali menghadap ke arah Winda. Winda menghilang.) “Winda? Winda? Apasih, maksud ini semua?”

            Esoknya, ada sebuah berita mengejutkan di TV. Polisi menemukan mayat seorang perawan tergeletak dipinggir jalan. Windi yang mendengar berita itu merasa was-was. Ia pun mengabarkan berita itu ke Wendy.

Windi: “Kak, udah denger berita pagi ini, belum?”
Wendy: “Berita apaan, Ndi?”
Windi: “Itu, loh! Berita, ada mayat anak perempuan, jalan tempat aku ninggalin Winda waktu itu.”
Wendy: “Trus kenapa?”
Windi: “Kalo itu, Winda gimana, kak?”
Wendy: “Itu pasti bukan dia. Gak mungkin itu dia! Kali gitu, kita kesaan sekarang!”

            Wendy, Windi, Fiana, dan Mang Mi’un pergi ke tempat kejadian. Di TKP, police line telah terpasang. Mereka pun menghampiri salah seorang polisi yang tengah bertugas.

Wendy: “Selamat siang, pak!”
Polisi: “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?”
Windi: “Begini, pak. Kami melihat berita di tv, bahwa ada yang menemukan mayat perempuan disini kemarin.”
Fiana: “Kami hanya ingin memastikan, bahwa mayat itu bukan adik dari teman saya ini.”
Polisi: “Oh, boleh. Silahkan diperiksa.”

            Ketika akan membuka tudung mayat, salah seorang polisi datang dengan membawa barang bukti.

Polisi 2: “Komandan! Kami menemukan barang milik korban!”
Polisi: “Baik. Perlihatkan barang itu kepada saya.”
Mang Mi’un: “Loh, bukannya itu tas milik non.. Winda?”
Windi: “Kak Wendy!! KAK!! itu, tas Winda,  Berarti,... Ini Winda..”
Wendy: “Astagfirullah! Winda? jadi.. Winda?” (menangis, Wendy & Windi.)
Fiana: “Udah, Ndi.. Udah.. Jangan nangis...”
Windi: “Winda mati gara-garaaku... Ini salahku...”
Mang Mi’un: “Udah non, nanti non Winda di alam sana malah gak tenang.”
Wendy: “Iya, Mang. Saya tau.  Sekarang, lebih baik kita pikirkan cara mengubur Winda dengan layak.
Windi: “Maafin gue, ya, Ndi... Gara-gara gue, Lo jadi kaya’ gini...”

Akhirnya mereka-pun menguburkan Winda dengan layak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar